Sabar Ya Dek

Pagi itu, seperti biasa, anak-anak saya yang nomor dua dan nomor tiga bersiap-siap untuk pergi ke sekolah. Kami tinggal di sebuah desa yang tenang, dengan jarak sekolah sekitar lima kilometer dari rumah. Setiap pagi, mereka akan menunggu angkutan umum yang akrab kami sebut "angkot." Tapi di sini, di Serambi Nusantara, angkot bukanlah angkutan kota. Lebih tepatnya, ini adalah angkutan desa, yang menghubungkan sudut-sudut kecil kampung kami.


sabar


Anak-anak saya jarang naik angkot, biasanya kami antar sendiri. Namun, ada kalanya tugas memanggil, dan angkot menjadi pilihan. Ada sesuatu yang lucu tentang gaya mereka setiap kali naik angkot. Seolah-olah mereka sedang menikmati perjalanan menuju petualangan baru, padahal itu hanyalah perjalanan ke sekolah. 

Hari itu, seperti biasa, angkot datang dengan langkah lambat, berhenti di depan rumah kami. Anak-anak melompat masuk, bersemangat untuk memulai hari mereka. Namun, tak lama setelah angkot melaju, tiba-tiba berhenti lagi. Ada masalah dengan mesin, atau mungkin hanya kehabisan bahan bakar. Kami pun tidak tahu.

Pak Supir, seorang pria tua dengan senyum sabar, menoleh ke arah anak-anak dan berkata, "Sabar ya, dek." Sebuah kalimat sederhana, namun mengandung arti mendalam. Anak-anak, yang semula gelisah dan ingin cepat sampai di sekolah, mendadak terdiam. Mungkin kalimat itu menyentuh hati mereka.

Di dalam angkot yang tenang itu, aku bisa melihat dari jauh bagaimana mereka merenung sejenak. Mungkin mereka sedang memikirkan betapa pentingnya kesabaran. Dalam dunia yang serba cepat ini, kita sering kali lupa bahwa tidak semua hal bisa terjadi dengan segera. Kadang, kita harus menunggu, menerima keadaan, dan tetap tenang.

Pak Supir akhirnya berhasil menghidupkan kembali mesin angkotnya, dan perjalanan pun dilanjutkan. Tapi sesuatu berubah dalam suasana hati anak-anak saya. Mereka belajar sesuatu hari itu, sebuah pelajaran berharga yang tidak bisa mereka dapatkan dari buku pelajaran di sekolah. Pelajaran tentang kesabaran, yang disampaikan dengan penuh keikhlasan oleh seorang pria tua sederhana di balik kemudi angkot.

Ketika anak-anak tiba di sekolah, mereka melompat turun dari angkot dengan senyum ceria. Mungkin mereka tidak lagi merasa terburu-buru, atau mungkin mereka menyadari bahwa perjalanan itu sendiri adalah bagian penting dari tujuan.

Saat saya melihat mereka pergi, saya berpikir, ada banyak cara untuk belajar di dunia ini. Tidak selalu harus di ruang kelas, atau dari seorang guru. Terkadang, pelajaran berharga datang dari tempat-tempat yang tidak terduga, seperti dari seorang supir angkot yang sabar.

Dan hari itu, pelajaran yang anak-anak saya bawa pulang bukan hanya tentang kesabaran, tapi juga tentang kehidupan itu sendiri. (WUAI)