Maafkan Aku, Saudaraku

Di tengah malam yang sunyi ini, ketika semua orang terlelap, aku terjaga, merenung, dan bermunajat. Pikiran-pikiran yang biasanya terlupakan di siang hari, kini datang menghampiri dengan begitu jelas. Satu kalimat terus berputar dalam benakku, mengusik ketenangan malam ini: "Maafkan aku, saudaraku."

Ternyata selama ini, aku bukanlah saudara yang baik bagi kalian. Terlihat cuek, seperti tanpa beban. Seolah-olah aku tidak peduli, tanpa merasa bersalah. Komunikasi kita pun seadanya, sekadar basa-basi tanpa kedalaman. Dan malam ini, aku tersadar bahwa kita berenam adalah saudara kandung, terhubung oleh darah dan cinta yang sama, namun entah mengapa, jarak di antara kita terasa begitu jauh.

Empat puluh tahun hidup ini rasanya cepat sekali berlalu. Dalam kecepatan itu, aku terlalu sibuk dengan urusanku sendiri, dengan dunia yang berputar di sekelilingku. Namun, apa yang sebenarnya telah hilang selama bertahun-tahun itu? Rasa kebersamaan, kehangatan, tawa yang dulu pernah kita bagi. Semua itu perlahan memudar, tergantikan oleh kesibukan yang tiada habisnya.

Aku merenung, betapa banyak momen yang telah kita lewatkan. Betapa banyak kata yang tidak sempat terucap, pelukan yang tidak pernah kita berikan, atau bahkan sekadar perhatian yang tidak kita tunjukkan. Apakah waktu masih cukup untuk memperbaiki semuanya? Aku hanya bisa berharap bahwa hubungan keluarga ini masih bisa kita rajut kembali, sebelum rasa sesal menghantui hari-hari yang tersisa.

Maafkan aku, saudaraku. Aku hanyalah manusia biasa, tak luput dari dosa dan kesalahan. Terkadang, aku lupa akan hal-hal yang seharusnya paling penting dalam hidup ini: keluarga. Dalam kekhilafan dan kelupaan ini, aku berdoa semoga masih ada waktu dan kesempatan untuk memperbaiki semuanya.

Malam ini, aku berjanji pada diri sendiri untuk tidak lagi menyia-nyiakan waktu yang tersisa. Aku ingin kembali merajut tali persaudaraan ini, menjadikan hubungan kita lebih dekat, lebih kuat, seperti yang seharusnya. Kita bukan sekadar saudara dalam darah, tetapi juga dalam hati, dalam kebersamaan yang seharusnya abadi.

Penajam, 18 Agustus 2024